REGULASI PAJAK BAGI PEBISNIS: PENENTUAN STATUS WAJIB PAJAK DAN PENERAPAN TERHADAP KEWAJIBAN MEMBAYAR PAJAK
Nukeschia Amare Calysta, Andhira Putri Widiastuti, Adindha Wahyu Wulan Kinanti
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
I. PENDAHULUAN
Dunia bisnis yang kini semakin berkembang membawa dampak besar bagi setiap pebisnis, tetapi juga menuntut adaptasi yang cepat dan tepat terhadap regulasi dan kewajiban hukum, termasuk dalam hal perpajakan. Di tengah lanskap bisnis yang semakin kompleks, kepatuhan terhadap aturan perpajakan menjadi semakin penting bagi pebisnis, terutama mereka yang tergolong sebagai wajib pajak. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang.
Sebagai bagian dari sistem perpajakan, penting untuk memahami kualifikasi individu atau badan usaha yang tergolong sebagai wajib pajak. Wajib Pajak (taxpayer) adalah pihak yang sudah memenuhi syarat subjektif dan objektifnya sehingga mempunyai kewajiban perpajakan, baik kewajiban untuk melakukan perhitungan, pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak yang menjadi tanggungan pihak lain maupun kewajiban untuk melakukan perhitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak yang menjadi tanggungannya sendiri. Hal ini diatur melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar, pemotong, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ketentuan wajib pajak yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (“UU PPh”) mengacu pada wajib pajak untuk Pajak Penghasilan (“PPh”). Sedangkan wajib pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai (VAT Taxpayer) dikenal dengan Pengusaha Kena Pajak (“PKP”). Pada Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (“UU PPN”) disebutkan Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (“BKP”) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (“JKP”) yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
Dalam hal ini, Indonesia menganut sistem pemungutan PPh Self Assessment System dan Withholding System bagi wajib pajak. Self Assessment System merupakan mekanisme pemenuhan kewajiban perpajakan yang menuntut wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajak yang terutang sesuai ketentuan untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (“NPWP”). Oleh sebab itu, penentuan besarnya pajak yang terutang dipercayakan kepada wajib pajak sendiri melalui dokumen Surat Pemberitahuan (“SPT”) yang disampaikan baik secara langsung, online, pos maupun melalui media lainnya. Selain itu, Withholding System adalah cara pemungutan pajak yang dihitung oleh pihak ketiga. Sistem ini disebut juga dengan jenis pajak potong-pungut dan dinilai adil bagi masyarakat.
Bagi pebisnis, kewajiban melaksanakan pembayaran pajak merupakan bagian yang penting, mengingat status mereka sebagai subjek yang diharuskan untuk menyetorkan PPh dari keuntungan atau pendapatan yang diperoleh. PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak. Dalam konteks regulasi perpajakan di Indonesia, setiap pebisnis memiliki kewajiban yang telah diatur secara tegas dalam ketentuan perpajakan untuk melaporkan aktivitas usahanya guna dikukuhkan sebagai PKP. Penetapan batasan nilai ini menjadi parameter penting bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan pebisnis yang wajib memenuhi kewajiban perpajakannya sehingga dapat tercipta sistem perpajakan yang adil dan transparan sesuai dengan kapasitas finansial masing-masing pebisnis.
Maka dari itu, penulisan artikel ini akan membahas terkait jenis pajak yang berlaku bagi pebisnis dan juga kualifikasi pebisnis yang tergolong wajib pajak agar dapat memberikan penjelasan bagi pebisnis terkait kewajiban perpajakan yang harus mereka penuhi.
II. PEMBAHASAN
Kualifikasi Pebisnis Tergolong Wajib Pajak
PKP merupakan entitas bisnis yang terlibat dalam penyerahan BKP dan/atau JKP, di mana aktivitas tersebut dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan UU PPN dan perubahannya. Status PKP ini tidak hanya terbatas pada pengusaha besar, tetapi juga dapat berlaku bagi pengusaha kecil yang secara sukarela memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Sementara itu, terdapat juga kategori pengusaha non-PKP, yaitu mereka yang belum mendapatkan pengukuhan sebagai PKP. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013, setiap perusahaan yang omzetnya tidak mencapai Rp4.800.000.000 tidak diwajibkan untuk dikukuhkan menjadi PKP. Namun, setiap PKP yang peredaran bruto atau omzetnya di bawah Rp4.800.000.000 dalam 1 tahun dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai PKP. Meskipun pengusaha non-PKP melakukan penyerahan barang/jasa yang termasuk dalam kategori BKP dan JKP, mereka tidak memiliki kewajiban untuk memungut dan melaporkan PPN.
Kegiatan usaha PKP adalah orang pribadi/badan yang melakukan kegiatan dalam usahanya, meliputi:
- Menghasilkan BKP;
- Melakukan usaha JKP;
- Mengimpor atau mengekspor BKP;
- Melakukan usaha perdagangan;
- Memanfaatkan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean; dan/atau
- Memanfaatkan JKP dari luar daerah pabean.
Pengukuhan status sebagai PKP memiliki beberapa fungsi penting dalam sistem perpajakan. Pertama, berfungsi sebagai instrumen pengawasan dalam pelaksanaan administrasi perpajakan. Kedua, menjadi sarana yang memfasilitasi pemenuhan hak dan kewajiban wajib pajak, khususnya pada konteks PPN dan PPnBM. Ketiga, berperan sebagai penanda identitas resmi bagi PKP yang bersangkutan seperti membedakannya dari pengusaha non-PKP dalam sistem administrasi perpajakan.
Sejalan dengan hal tersebut, terdapat ketentuan yang mewajibkan pengusaha untuk diberikan status PKP, yakni sebagai berikut:
- Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang memenuhi ketentuan sebagai PKP;
- Wajib Pajak Badan yang memenuhi ketentuan sebagai PKP;
- Wajib Pajak sebagai Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP; dan
- Wajib Pajak sebagai Pengusaha Kecil yang tidak memilih menjadi PKP, tetapi sampai dengan satu masa pajak dalam satu tahun buku seluruh nilai peredaran bruto telah melampaui batasan yang ditentukan sebagai Pengusaha Kecil.
Jenis Umum Pajak yang Berlaku Bagi Pebisnis
Dalam sistem perpajakan di Indonesia mengenal pembagian jenis pajak berdasarkan lembaga pemungutnya yang terdiri dari pajak pusat dan pajak daerah.
Pajak Pusat
Pajak pusat merupakan instrumen fiskal yang dipungut dan dikelola langsung oleh pemerintah pusat seperti:
- Pajak Penghasilan (PPh);
- Pajak Pertambahan Nilai (PPN);
- Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM);
- Bea Meterai;
- Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk sektor tertentu.
Pajak Daerah
Pajak daerah dikelola oleh pemerintah daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota, yang meliputi berbagai jenis pajak seperti:
- Pajak kendaraan bermotor;
- Pajak hotel;
- Pajak reklame.
PPh memiliki klasifikasi yang terstruktur dan disesuaikan dengan karakteristik wajib pajaknya. Sistem pembagian PPh terbagi dalam dua kategori utama, yaitu:
- PPh yang dikenakan pada wajib pajak orang pribadi;
- PPh yang dibebankan kepada wajib pajak badan atau perusahaan.
Terkait wajib pajak yang merupakan orang pribadi juga dibedakan menjadi pegawai dan bukan pegawai seperti pebisnis yang masing-masing memiliki ketentuan dan tarif yang berbeda sesuai dengan sumber penghasilannya. Sedangkan untuk wajib pajak yang berbentuk badan atau perusahaan, pengenaan PPh akan disesuaikan dengan karakteristik badan usaha dan objek penghasilan yang diperoleh dalam periode perpajakan tertentu.
Merujuk kepada UU PPh, terdapat beberapa jenis pajak yang wajib dipenuhi oleh PKP, hal tersebut termaktub dalam beberapa pasal, yakni:
- Pasal 21
Kewajiban perusahaan sebagai pemotong pajak atas penghasilan karyawannya. - Pasal 23
Dikenakan pada transaksi yang melibatkan modal, jasa, hadiah, dan penghargaan dengan tarif yang bervariasi antara 2% hingga 15%. - Pasal 26
Untuk transaksi dengan pihak luar negeri, perusahaan wajib memenuhi PPh Pasal 26 dengan tarif standar 20%, meski dapat berubah sesuai perjanjian penghindaran pajak berganda yang berlaku. - Pasal 29
Instrumen pelunasan kekurangan pembayaran pajak dalam tahun berjalan. - Pasal 4 ayat (2)
PPh Final yang menyederhanakan pengenaan PPh atas penghasilan usaha dan memudahkan serta mengurangi beban administrasi yang mencakup transaksi seperti sewa bangunan dan jasa konstruksi, dengan karakteristik pemotongan yang bersifat final dan tidak dapat dikreditkan. - Pasal 22
Kewenangan Menteri Keuangan untuk menunjuk bendahara pemerintah, badan tertentu, dan wajib pajak badan tertentu sebagai pemungut pajak atas transaksi penyerahan barang, kegiatan impor, dan penjualan barang mewah, di mana besarannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan dan bagi wajib pajak tanpa NPWP dikenakan tarif 100% lebih tinggi. - Pasal 24
Pengaturan tentang kredit pajak bagi wajib pajak dalam negeri atas pajak yang dibayar di luar negeri, di mana besaran kredit tidak boleh melebihi pajak yang terutang di Indonesia dan penentuan sumber penghasilan dibedakan berdasarkan jenis transaksinya seperti saham, bunga, royalti, dan sewa.
Selain jenis pajak di atas, PPh Pasal 15 juga mengatur mengenai jenis PPh yang dikenakan atau dipungut dari wajib pajak yang bergerak pada industri pelayaran, penerbangan internasional, dan perusahaan asuransi asing. Untuk perusahaan yang telah dikukuhkan sebagai PKP juga dikenakan PPN. Selanjutnya, PPh Final 0,5% untuk UMKM dan Pajak Daerah yang disesuaikan dengan karakteristik usaha.
Mekanisme Prosedur Pendaftaran dan Pelaporan Pajak
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor – 44/PJ/2008 tentang Tata Cara Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak serta Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak, tata cara pendaftaran dan pengukuhan menjadi PKP pada Kantor Pelayanan Pajak (“KPP”) dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa ketentuan sebagai berikut:
A. Persiapan Awal
- Jika Anda sebagai pengusaha belum terdaftar sebagai PKP dan ingin mendaftar, Anda perlu datang ke KPP terdekat untuk mendapatkan NPWP dan NPPKP (Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak).
B. Langkah-Langkah Pendaftaran
- Pengisian Formulir
Anda akan diminta mengisi formulir pendaftaran Wajib Pajak, juga mengisi formulir untuk menjadi PKP. - Penyerahan Berkas
Setelah formulir diisi dengan lengkap dan ditandatangani, formulir dapat diserahkan kepada petugas pendaftaran. - Pemeriksaan Berkas
Petugas akan memeriksa kelengkapan isian formulir Anda. Jika ada yang kurang, formulir akan dikembalikan untuk dilengkapi. Setelah lengkap, Anda akan diberi Bukti Penerimaan Surat (BPS). - Penerimaan Dokumen
Anda akan menerima Surat Keterangan Terdaftar (SKT), Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (SPPKP), dan Kartu NPWP. Proses ini membutuhkan waktu satu hari kerja sejak berkas lengkap.
C. Proses Verifikasi dari Kantor Pajak
- Dalam waktu satu tahun, petugas pajak akan melakukan pengecekan ke lokasi usaha Anda.
- Hal ini dilakukan untuk memastikan kebenaran data yang Anda berikan, keberadaan tempat usaha Anda, dan aktivitas usaha yang dijalankan.
D. Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan
- Kantor pajak akan lebih ketat memeriksa jika alamat usaha Anda tidak ditemukan/tidak jelas, tidak rutin melaporkan SPT, sering berpindah-pindah KPP, melakukan kegiatan ekspor-impor, mengajukan restitusi (pengembalian pajak), langsung melakukan transaksi dalam jumlah besar di awal usaha, dan nama perusahaan mencurigakan atau tidak wajar.
- Adapun konsekuensi jika data tidak benar, yaitu NPWP bisa dihapus, SKT bisa dicabut, dan Status PKP bisa dibatalkan.
Sanksi atas Ketidakpatuhan terhadap Kewajiban Membayar Pajak
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terdapat sanksi administratif sebagai sanksi yang diberikan kepada wajib pajak untuk membayar sejumlah nominal kepada negara karena telah melanggar peraturan yang berlaku.
Sanksi administratif terbagi menjadi 3 jenis sanksi, di antaranya:
- Sanksi berupa bunga
Akan diberikan bila terjadi pelanggaran yang berhubungan dengan kewajiban membayar pajak. Besaran bunga per bulan juga disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 (PP/35/2023), yang terdapat pada Pasal 59, Pasal 71, Pasal 72, Pasal 77 ayat (1) dan (2), Pasal 78 ayat (4) dan (5). - Sanksi berupa denda
Akan diberikan kepada wajib pajak yang melanggar berdasarkan PP/35/2023 dan juga Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024. - Sanksi berupa kenaikan
Sanksi ini tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak dan akan diberikan kepada pihak wajib pajak jika melakukan pelanggaran seperti pemalsuan data, manipulasi jumlah pendapatan dengan dikecilkan agar pajak yang dikenakan lebih sedikit, dan kecurangan lainnya.
Sanksi administratif berupa kenaikan dapat digabung dengan sanksi administratif berupa bunga. Hal ini diatur dalam Pasal 77 ayat (2) PP/35/2023 yang berbunyi:
“Jumlah Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2,2% (dua koma dua persen) per bulan dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan, sejak saat terutangnya Pajak ditambahkan dengan sanksi administratif berupa:
a. Kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pokok Pajak yang kurang dibayar untuk jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dan Pasal 3 ayat (4) huruf b; atau
b. Kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok Pajak yang kurang dibayar untuk jenis Pajak selain yang dimaksud pada huruf a.”
Maka dari itu, sanksi pajak bagi wajib pajak yang melanggar kewajiban pembayaran disesuaikan dengan beratnya pelanggaran.
III. PENUTUP
Kesimpulan
Status PKP ini tidak hanya berlaku bagi pengusaha besar, tetapi juga dapat diterapkan pada pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor – 44/PJ/2008, pengusaha yang memiliki omzet lebih dari Rp4.800.000.000,00 per tahun wajib mendaftarkan diri sebagai PKP, sementara pengusaha dengan omzet di bawah batas tersebut dapat memilih untuk menjadi PKP atau tetap sebagai non-PKP.
Meskipun pengusaha non-PKP melakukan penyerahan barang/jasa yang termasuk dalam kategori BKP dan JKP, mereka tidak memiliki kewajiban untuk memungut dan melaporkan PPN. Pengusaha kecil yang omzetnya melebihi batas tersebut juga wajib dikukuhkan sebagai PKP.
Pengukuhan status PKP berfungsi sebagai instrumen pengawasan perpajakan, memfasilitasi kewajiban perpajakan terkait PPN dan PPnBM, serta menjadi identitas resmi dalam administrasi perpajakan. Selain itu, PKP juga wajib membayar PPN serta pajak daerah sesuai karakteristik usahanya. Kewajiban perusahaan dalam sistem perpajakan meliputi pemahaman dan pemenuhan setiap kewajiban pajak yang relevan, menghitung, memotong, menyetor, melaporkan pajak tepat waktu, serta menjaga kepatuhan terhadap regulasi perpajakan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
- Khalimi, Hukum Pajak: Teori dan Praktik, CV. Anugrah Utama Raharja, Lampung, 2020.
- Setiadi Alim, Hukum Pajak menggunakan PTKP 2015, Universitas Surabaya, Surabaya, 2015.
- Adrian Sutedi, Hukum Pajak, Sinar Grafika, Jakarta.
- Mohammad Taufik, Pengantar Hukum Pajak, TAB Grafika, Yogyakarta, 2018.
Jurnal dan Artikel
- Bapenda Jakarta, “Yuk Pahami Sanksi Administrasi Pajak: Bunga, Denda, dan Kenaikan”,
https://bapenda.jakarta.go.id/artikel/yuk-pahami-sanksi-administratif-pajak-bunga-denda-dan-kenaikan. - Fitriya, “Panduan Pajak Penghasilan: Jenis, Objek, Subjek, Tarif”,
https://klikpajak.id/blog/pajak-penghasilan-jenis-pph-objek-subjek-tarif-perhitungan/. - Mekari, “3 Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia”,
https://klikpajak.id/blog/3-sistem-pemungutan-pajak-di-indonesia/.
Peraturan Perundang-Undangan
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013.
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor – 44/PJ/2008 tentang Tata Cara Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak serta Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
- Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Anda Masih Bingung Terkait Legalitas?
Yuk Langsung AJa klik toMbol di kanan untuk Bertanya Ke Tim Documenta