Pemberlakuan Surat Wasiat Menurut KUHPer dan KHI
Pertanyaan:
Saya ingin membuat wasiat, bagaimana cara Saya dapat membuatnya? Apakah terdapat perbedaan dari wasiat dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)? (Ina Adriani, Surabaya)
Jawaban:
Akibat Pandemi COVID-19, hingga 19 Mei 2020 telah lebih dari 1.100 pasien meninggal di Indonesia. Sementara pada tanggal 9 Mei 2020 Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Wiku Bakti Bawono Adi Sasmito mengatakan bahwa 84,8% korban yang meninggal akibat dari COVID-19 berusia diatas 45 tahun. Persentase korban yang meninggal tersebut dibagi atas 46-59 tahun sebanyak 39,6% dan di atas 60 tahun sebanyak 45,2%. Oleh karena itu asumsi sederhananya adalah orang yang berusia diatas 45 tahun akan lebih rentan meninggal akibat COVID-19. Melihat fakta tersebut maka beberapa pihak telah melakukan inisiatif untuk membuat surat wasiat sebagai antisipasi apabila pihak tersebut meninggal.
Pada umumnya surat wasiat digunakan untuk menentukan peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris atau pihak lain sehingga untuk membentuk suatu surat wasiat maka harus terdapat unsur pemberi wasiat, penerima wasiat, dan harta yang dimiliki pemberi wasiat dimana peralihan baru dapat terjadi setelah pembuat wasiat telah meninggal. Pada hukum yang berlaku di Indonesia terdapat 2 aturan yang mengatur mengenai wasiat yaitu Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Terdapat beberapa perbedaan antara pengaturan wasiat dalam KUHPer dan KHI.
Dalam Pasal 875 KUHPer disebutkan bahwa “Surat wasiat atau testamen adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya.” Sementara pada Pasal 195 ayat KHI disebutkan bahwa “Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris.” Dalam penjelasan lebih lanjut dalam KUHPer khususnya Pasal 931 terdapat 4 jenis surat wasiat yaitu wasiat umum, oligraphis, rahasia, dan darurat pada intinya semua jenis wasiat dalam KUHPer mewajibkan untuk melibatkan notaris. Hal tersebut berbeda dengan wasiat dalam KHI yang tidak mewajibkan untuk melibatkan Notaris. Namun perlu diketahui juga bahwa pada praktiknya dalam hal pembuatan wasiat tidak melibatkan notaris maka kepastian hukumnya akan terancam akibat dari kesulitan dalam pembuktiannya.
Dalam Pasal 194 KHI dijelaskan bahwa pembuat wasiat merupakan orang yang telah berumur setidaknya 21 tahun sementara menurut Pasal 897 KUHPer pembuat wasiat harus berusia setidaknya 18 tahun. Perbedaan lainnya adalah mengenai Batasan pemberian wasiat, dalam Pasal 195 KHI pemberi wasiat hanya dapat memberikan 1/3 dari harta waris kecuali apabila seluruh ahli waris menyetujuinya. Berbeda dengan KUHPer yang mengatur Batasan pemberian warisa berbeda-beda tergantung dari keberadaan ahli waris yang ditinggalkannya. Bahkan apabila melihat lebih jauh terdapat perbedaan aturan mengenai larangan dalam wasiat yang diatur dalam KUHPer dan KHI.
Pada intinya apabila pembuat wasiat beragama islam maka ia dapat menggunakan KHI sebagai dasar pembuatan wasiat dan apabila terdapat sengketa maka akan diadili dalam Pengadilan Agama. Apabila menggunakan KUHPer sebagai dasar pembuatan wasiat maka Ketika timbul perselisihan akan diadili dalam Pengadilan Negeri. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai hal ini segera hubungi Customer Service Documenta agar segera dihubungkan dengan ahli kami.
Anda Masih Bingung Terkait Legalitas?
Yuk Langsung AJa klik toMbol di kanan untuk Bertanya Ke Tim Documenta