Pertanyaan
Jika dilihat dari kasus Buni Yani dan Baiq Nuril, keduanya terjerat hukum berdasarkan aturan pencemaran nama baik dalam UU ITE. Padahal isi konten yang mereka buat memang menggambarkan terjadinya suatu tindak pidana. Apakah itu bisa termasuk unsur pidana dan terjerat pidana? Apabila isi konten yang disebarkan tersebut bukan hoax atau memang asli terjadi, apakah ada perlindungan hukum bagi pelaku pencemaran nama baik?
I would rather be a little nobody, then to be a evil somebody
Abraham Lincoln/16th U.S. President
Ulasan Lengkap
Pencemaran nama baik (defamation) adalah perbuatan yang dilarang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan/atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”).
Dalam KUHP, pencemaran nama baik baik tersebar pada beberapa pasal, yakni:
- Pencemaran secara lisan (Pasal 310 ayat (1) KUHP);
- Pencemaran secara tertulis (Pasal 310 ayat (2) KUHP);
- Fitnah (Pasal 311 KUHP);
- Penghinaan ringan (315 KUHP);
- Pengaduan palsu/fitnah (317 KUHP);
- Persangkaan palsu (318 KUHP);
- Penghinaan kepada orang yang sudah mati (Pasal 320-321 KUHP).
Adapun pencemaran nama baik melalui media elektronik diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang melarang:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Unsur-unsur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, menurut hemat kami, dapat diuraikan sebagai berikut:
- Setiap orang. Penyebar dapat menjadi tersangka/terdakwa tindak pidana jika penyebar dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Harus dianalisis secara mendalam siapa penyebar utama konten tersebut.
- Dengan sengaja dan tanpa hak. Unsur ini harus dibuktikan kepada siapa penyebar memberitahukan konten tersebut dan dengan tujuan apa. Apakah tujuan dibuatnya konten untuk menjelek-jelekan secara personal atau untuk memberi tahu adanya dugaan suatu tindak pidana?
- Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Unsur ini sudah terpenuhi jika konten tersebut dapat diakses oleh berbagai pihak dan diketahui oleh umum.
- Yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Unsur ini harus dikritisi dan dianalisis lebih lanjut dengan bantuan ahli bahasa (expert).
Perbuatan memberitahu konten yang menurut Anda bukan kabar bohong (hoax) menggunakan sarana teknologi internet dapat menjadi perbuatan melawan UU ITE (straafbaar feit) jika memenuhi keempat unsur tersebut. Namun, yang wajib diperhatikan dengan serius adalah pemenuhan unsur keempat, yaitu apakah konten tersebut memiliki muatan dan/atau pencemaran nama baik.
Sanksi atas pelanggaran Pasal 27 ayat (3) UU ITE diatur dalam Pasal 45 ayat (3) 19/2016:
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pencemaran Nama Baik sebagai Delik Aduan
Pencemaran nama baik/penghinaan (belediging) menjadi tindak pidana jika ada pengaduan dari korban langsung atau laporan dari orang lain yang mengetahui adanya dugaan tindak pidana tersebut (delik aduan). Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 45 ayat (5) UU 19/2016. Menurut Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya Prinsip–prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi (hal. 145), delik aduan (klacht delic) adalah delik yang membutuhkan pengaduan untuk memproses perkara tersebut lebih lanjut.
Berdasarkan pertanyaan Anda, maka diperlukan pengaduan terlebih dahulu dari orang yang nama baiknya tercemar (pengadu) kepada penyidik atas akibat penyebaran konten tersebut, untuk dapat diproses menggunakan dasar hukum yang berlaku. Peraturan yang dirujuk dalam proses ini antara lain adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana (“Perkap 6/2019”).
Penyebar tersebut dapat dijadikan tersangka setelah penyidik menetapkannya berdasarkan paling sedikit dua alat bukti yang sah dan didukung barang bukti.[1] Hal ini sesuai dengan prinsip unnus testis nullus testis.
Namun yang harus diingat, sebelum adanya putusan inkracht oleh hakim, dikenal adanya asas praduga tak bersalah (presumption of innocent). Dalam KUHAP, asas praduga tak bersalah dijelaskan dalam Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c yaitu:
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sistem peradilan pidana kemudian menjadi cara untuk menentukan apakah suatu tindakan merupakan pelanggaran atas ketentuan hukum positif di Indonesia atau tidak. Menurut Mardjono Reksodiputro dalam bukunya Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Melihat Kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas–batas Toleransi (hal. 1), sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga–lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan permasyarakatan terpidana.
Lebih lanjut menurut Ratna Nurul Afiah dalam bukunya Barang Bukti dalam Proses Pidana (hal. 122), proses peradilan suatu perkara pidana melalui tahap-tahap sebagai berikut:
1. Tahap penyidikan oleh aparat kepolisian.
2. Tahap penuntutan oleh jaksa (penuntut umum).
3. Tahap pemeriksaan di pengadilan.
Perlindungan Hukum
Dalam pertanyaan Anda disinggung apakah ada perlindungan hukum bagi pelaku pencemaran nama baik. Perlindungan hukum menurut Setiono dalam bukunya Rule of Law (Supremasi Hukum) (hal. 3) adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.
Dalam hal ini kami asumsikan bahwa pelaku telah ditetapkan menjadi tersangka ataupun terdakwa. Hak tersangka dan terdakwa sendiri diatur dalam Pasal 50 sampai Pasal 68 KUHAP.
Namun jika penyebar konten tersebut adalah korban, maka ia berhak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Ia juga berhak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan.[2] Orang/korban tersebut dapat mengajukan permohonan perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Oleh karena itu, baik tersangka/terdakwa maupun korban yang menyebarkan konten pencemaran nama baik berhak atas perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
- Eddy O.S. Hiariej. Prinsip–prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016;
- Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Melihat Kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas–Batas Toleransi). Depok: Fakultas Hukum Unversitas Indonesia, 1993;
- Ratna Nurul Afiah. Barang Bukti dalam Proses Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 1989;
- Setiono. Rule of Law (Supremasi Hukum). Surakarta: Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2004.
[1] Pasal 25 ayat (1) Perkap 6/2019
[2] Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Ingin Mengetahui Lebih, Tentang Perlindungan Hukum
Yuk Langsung AJa klik toMbol di kanan untuk Bertanya Ke Tim Documenta